Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Setahun Prabowo: Seribu Janji Mandiri, Sejuta Impor Aspal, dan Nol Harga Diri
8 jam lalu
Dalam buku Paradoks Indonesia, Pak Prabowo pernah menulis tentang penderitaan bangsa yang kaya sumber daya tapi miskin kedaulatan.
***
Setahun sudah Pak Prabowo berkuasa, tetapi jalan menuju kemandirian aspal masih tertutup debu impor. Janji swasembada aspal yang dulu menggema kini hanya bergema di ruang-ruang rapat tanpa keputusan tegas. Rakyat Buton menatap tambang aspal mereka yang terbengkalai, sementara kapal-kapal tanker asing terus merapat di pelabuhan Indonesia. Slogan “berdikari” terdengar indah, namun realitanya penuh ironi. Negeri ini kembali menjadi pembeli di tanahnya sendiri.
Presiden Prabowo Subianto mewarisi stop impor aspal 2024 yang digagas era Jokowi. Sebuah instruksi yang mestinya menuntun Indonesia menuju swasembada aspal nasional. Namun dalam satu tahun pemerintahannya, pelaksanaan instruksi itu tjdak lebih dari tinta di kertas. Tidak ada lompatan kebijakan, tidak ada pabrik ekstraksi berdiri, tidak ada roadmap hilirisasi aspal Buton yang jelas. Yang ada hanyalah wacana dan janji tentang keberanian nasional yang entah kapan diwujudkan.
Pak Jokowi mungkin tidak sempurna, tetapi ia pernah memulai langkah konkret. Ia menugaskan Kementerian PUPR menggunakan aspal Buton di beberapa proyek nasional dan membuka ruang investasi di Buton. Ia bahkan mengeluarkan perpres khusus untuk mempercepat pemanfaatan aspal dalam negeri. Namun ketika tongkat estafet berpindah ke tangan pada Pak Prabowo, semangat itu seakan berhenti di perbatasan niat. Tidak ada gebrakan baru, yang ada hanyalah kelanjutan retorika.
Pak Prabowo dikenal sebagai sosok nasionalis, pejuang kemandirian bangsa, dan pengusung kedaulatan sumber daya. Namun dalam isu aspal Buton, keberanian itu justru tumpul di hadapan kepentingan asing. Impor aspal tetap berjalan, bahkan meningkat seiring masifnya pembangunan infrastruktur. Ironisnya, bahan baku lokal yang berlimpah tidak diberi ruang untuk berdiri tegak. Seolah keberanian Pak Prabowo hanya berhenti di podium, bukan di kebijakan.
Rakyat Buton masih menunggu momentum besar itu: saat negara benar-benar berpihak kepada kekayaan sendiri. Tetapi yang mereka lihat hanyalah proyek jalan yang diaspal dengan produk aspal impor dari Singapura, Tiongkok, atau Timur Tengah. Sementara 650 juta ton cadangan aspal alam Buton menjerit di bawah tanah, terperangkap oleh birokrasi dan permainan tender. Jika ini disebut kedaulatan, maka kedaulatan itu kini sedang disandera. Disandera oleh ketakutan dan kepentingan global yang tak terlihat.
Swasembada aspal 2030 kini terdengar seperti mantra kosong tanpa arah implementasi. Pemerintah berbicara tentang hilirisasi nikel, bauksit, dan sawit, tetapi mengabaikan aspal Buton yang potensinya lebih nyata untuk infrastruktur nasional. Tidak ada komitmen investasi besar, tidak ada BUMN yang ditugaskan khusus untuk membangunnya. Padahal, jika 10% dana infrastruktur dialokasikan ke Buton, pabrik ekstraksi sudah bisa berdiri megah. Namun rupanya, aspal Buton belum dianggap seksi di mata politik kekuasaan.
Lebih menyedihkan lagi, Indonesia justru menandatangani kontrak impor aspal baru dari luar negeri pada tahun pertama pemerintahan ini. Sebuah ironi di tengah kampanye besar tentang kemandirian nasional. Apakah negara ini benar-benar tidak mampu memanfaatkan sumber daya sendiri? Apakah ada kekuatan besar yang lebih kuat dari idealisme seorang presiden? Di sinilah publik mulai bertanya: di mana sebenarnya keberanian Pak Prabowo yang dulu digadang sebagai pejuang kedaulatan ekonomi?
Keberanian politik Pak Prabowo tampak berhenti di catatan kaki kepentingan asing. Setiap kebijakan yang menyentuh sektor energi dan bahan baku strategis selalu berkelindan dengan kontrak lama dan kepentingan global. Aspal Buton hanyalah korban dari sistem yang sudah terlalu lama dijajah secara ekonomi. Negeri ini tidak butuh pidato baru, tetapi keputusan yang menabrak kepentingan lama. Dan keberanian itu belum terlihat, bahkan setelah setahun kekuasaan penuh di tangannya.
Fakta di lapangan berbicara jelas: lebih dari 90% kebutuhan aspal nasional masih diimpor. Padahal, cadangan aspal Buton mampu memenuhi seluruh kebutuhan itu hingga puluhan tahun ke depan. Di Buton, masyarakat hanya bisa menonton ketika peluang emas itu diserahkan pada importir aspal besar yang bermain di balik layar. Mereka tidak butuh belas kasihan, mereka hanya menuntut keadilan ekonomi. Tetapi sayangnya, keadilan itu kalah oleh diplomasi bisnis.
Jika Pak Prabowo ingin meninggalkan warisan besar, seharusnya dimulai dari keberanian memutus mata rantai impor aspal ini. Bangsa besar tidak akan pernah berdiri kokoh di atas aspal asing. Ia harus berdiri di atas tanahnya sendiri, di atas bahan baku yang dikeluarkan dari perut bumi sendiri. Tetapi setiap keputusan besar menunggu keberanian besar. Dan keberanian itu, sejauh ini, masih disembunyikan di balik kalimat “sedang dikaji”.
Aspal Buton seharusnya menjadi simbol kebangkitan kedaulatan ekonomi daerah, bukan sekadar bahan perdebatan. Jika pemerintah mau serius, ribuan lapangan kerja baru bisa tercipta di Sulawesi Tenggara. Industrialisasi lokal bisa berjalan, dan Buton bisa menjadi episentrum baru pembangunan nasional. Tetapi hingga kini, yang berkembang hanyalah wacana dan proposal. Pemerintah tampak lebih nyaman bergantung pada jalur impor aspal daripada membangun dari akar sendiri.
Pak Prabowo kerap berbicara tentang “Indonesia yang kuat dan berdikari.” Namun bagaimana mungkin bangsa ini kuat jika fondasi jalannya saja bergantung pada aspal impor? Bagaimana mungkin berdikari jika kebijakan ekonominya masih dikendalikan oleh kepentingan luar negeri? Setiap truk pengangkut aspal impor yang melintas di jalan nasional adalah simbol kekalahan moral. Kekalahan di tangan keputusan yang tidak berani berpihak pada diri sendiri.
Dalam buku Paradoks Indonesia, Pak Prabowo pernah menulis tentang penderitaan bangsa yang kaya sumber daya tapi miskin kedaulatan. Kini, ia justru menjadi pelaku paradoks itu sendiri. Buton adalah cermin yang memantulkan wajah kebijakan setengah hati, antara idealisme dan kompromi. Ketika kata “berdaulat” hanya jadi slogan, bangsa ini kehilangan arah sejarahnya. Dan harga diri nasional pun perlahan tergerus oleh kenyamanan impor aspal.
Aspal Buton bukan sekadar batu hitam yang bisa dilebur dan dihamparkan di jalan. Ia adalah simbol dari perjuangan panjang melawan penjajahan ekonomi. Ia adalah bukti bahwa bangsa ini punya segalanya untuk berdiri tanpa bergantung pada siapa pun. Tetapi jika pemerintah terus menunda keberanian, maka sejarah akan mencatat bahwa generasi ini memilih menjadi penonton di atas kekayaan sendiri. Dan nama Pak Prabowo akan dikenang sebagai presiden yang tidak berani menepati janji kemandiriannya.
Setahun Prabowo berkuasa adalah waktu yang cukup untuk menunjukkan arah politik ekonomi yang tegas. Namun yang tampak hanyalah seribu janji mandiri, sejuta impor aspal, dan nol harga diri bangsa. Jika ini bukan pengkhianatan terhadap cita-cita berdikari, lalu apa namanya? Buton tidak butuh simpati, ia menuntut keberanian. Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat siapa yang berjanji, tetapi siapa yang benar-benar berani mewujudkan swasembada aspal 2030.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler